The Ending
Sachi berjalan tanpa menghiraukan angin, arah,
tempat bahkan malam yang semakin naik merangkak larut. Kedua kakinya menapaki
anak tangga satu demi satu.
Ingin rasanya dia menangis, namun
air mata seolah sudah terkuras habis seharian tadi. Gilirannya untuk berdiam.
Mendiami batinnya yang sesungguhnya tengah tercabik-cabik oleh sebuah klise
yang sering disebut…
“Cinta…” Desah Sachi.
Suara orang berdehem sedikit
mengejutkan Sachi. Dia menoleh ke arah samping kiri sambil memasang wajah penuh
tanya. Seorang laki-laki dengan mata tajam dan wajah tampan tersenyum kecil ke
arahnya.
“Cinta?” ucap lelaki tadi dengan
nada bertanya.
Sachi mengerutkan kening.
“Maksudnya?”
Lelaki itu kembali tersenyum tanpa
arti. “Aku denger tadi kamu bilang kata ‘cinta’.” Jelasnya seolah sudah duduk
di sebelah Sachi sebelum gadis manis bermata bening itu mendesah kata ‘cinta’.
Sachi menaikan kedua alisnya tanpa
mengucapkan sepatah katapun.
“Davian.” Kata lelaki itu sambil
mengulurkan tangannya.
Dengan sedikit ragu, Sachi menyambut
uluran tangan Davian seraya menyebutkan namanya, “Sachi.”
Davian mengangguk-angguk. Sachi
melepaskan tangannya dari genggaman Davian. Baru saja dia hendak mengalihkan
kembali pandangannya ke depan, sebelum Davian mengatakan, “Aku masih penasaran
dengan ending-nya.”
Sachi lagi-lagi mengerutkan kening.
“Maksud kamu ending apaan?”
“Kata ‘cinta’ yang tadi kamu bilang,
pasti ada lanjutannya, kan?” terka
Davian.
Sachi mengangguk pelan. “Tapi, aku
nggak yakin sama ending-nya.”
“Kenapa?”
“Sebenarnya, ada dua ending dari cinta. Pertama adalah kebahagian.
Kedua adalah kepahitan.” Terang Sachi, lalu menelan ludah sebentar. “Sialnya,
aku kebagian ending yang kedua.”
Lanjutnya.
“Kamu lagi sakit hati?” tebak
Davian, disusul anggukan berat dari Sachi. Gadis itu menengok ke depan sembari
memandangi bintang yang berkelip bergantian.
“Aku baru aja putus dari pacarku.”
Kata Sachi, mengecap pahit.
“Boleh tahu kenapa?”
“Klise…” singkat Sachi sambil
tersenyum sinis.
“Maksud kamu pertanyaanku klise?”
Sachi menggeleng pelan. “Alasannya
klise.” Jawabnya sambil menengok Davian dengan mata meredup. “Pacarku
selingkuh…”
“…”
***
Mungkin, menurut sebagian orang, aku
adalah wanita paling beruntung yang menginjakan kaki di dunia yang huge ini. Bagaimana tidak? Aku terpilih
menjadi kekasih seorang pria yang tampan, populer, soleh, kaya dan pintar.
Dia Raihan. Pacarku yang tampan
seperti pangeran negeri dongeng. Kita sudah menjalin hubungan sejak kita masih
kuliah. Dari puluhan gadis cantik yang menyukainya, dia memilihku tanpa alasan.
Itu yang membuatku merasa menjadi gadis istimewa diantara gadis-gadis cantik
bak burung merak yang mempesona.
Jika ditanya dengan pertanyaan yang prestigious seperti ‘apakah aku
bahagia?’ Tentu aku bahagia. Bahkan sangat bahagia. Tapi, itu dulu. Dulu,
sebelum dia menghilang tanpa kabar selama seminggu terakhir. Dulu, sebelum dia
tak pernah mengubungi atau dapat dihubungi. Dulu, sebelum dia mengabaikanku.
Dan, dulu, sebelum dia… selingkuh.
Kekacauan demi kekacauan yang
melanda selama seminggu terakhir ini, membuat hubungan kami yang sudah berjalan
sekitar 6 tahun harus kandas. Aku berusaha untuk percaya padanya. Tapi, aku
juga tidak kuat dengan segala macam gosip yang menyatakan jika Raihan selingkuh
dengan perempuan lain.
Hingga semua itu seakan mencapai
klimaks ketika aku melihat Raihan tengah menurunkan seorang wanita di pinggir
jalan. Bahkan aku sempat melihat Raihan sedang memberikan sebuah cincin untuk
wanita itu. What the...?
Aku langsung menghampiri Raihan tak
lama setelah wanita itu pergi. Tamparan pedas tak segan aku daratkan di pipi
Raihan dengan sukses.
“Sayang, kenapa kamu nampar aku?”
tanya Raihan sambil memegangi pipinya sebelah kanan.
“Aku nggak nyangka kamu tega banget
sama aku.” Kataku dengan mata berkaca-kaca.
“Maksud kamu apa sih, say…”
“Jangan panggil aku ‘sayang’!” aku
memotong kalimat Raihan dengan nada meninggi. Air mataku sudah tak dapat lagi
dibendung. Hatiku sakit. Bahkan lebih sakit dari sekedar tamparan yang aku berikan
kepada Raihan.
“Sumpah, aku nggak ngerti…”
“Kamu jahat!” lagi-lagi aku memotong
sebelum Raihan menyelesaikan kalimatnya. “Mulai sekarang…” aku menjeda
kalimatku sebentar. Jemariku bergetar. Tubuhku tak kalah bergempa. Air mata
mengalir diantara ribuan detak jantung dan nafas menderu ketika aku mengatakan,
“Kita putus!”
***
“Kita putus hari ini.” Kata Sachi
menutup ceritanya.
Davian menggaruk-garuk dagunya. “Apa
pikiran lo nggak terlalu dangkal karena udah seenaknya nuduh Raihan selingkuh?”
“Perempuan itu punya insting yang
kuat, Dav.” Sahut Sachi.
Davian menarik nafas seraya
menggeleng kepalanya berkali-kali. “Perempuan seperti kamu yang membuat
laki-laki kayak aku ini jadi merasa bodoh, tau nggak?” ucap Davian sambil
menunjuk-nunjuk wajah Sachi.
Sachi menepis tangan Davian sambil
memasang wajah berlipat. “Perempuan kayak gimana tuh maksud kamu?”
“Ya kayak kamu. Yang nggak mikir
dulu sebelum nuduh seenaknya.”
“Atas dasar apa kamu ngomong kayak
gitu?” sahut Sachi, mulai kesal.
Davian menatap mata Sachi dengan
tatapan malas. “Aku baru aja diputusin gara-gara pacarku nuduh aku selingkuh!”
Sachi terperanjat.
***
Susah payah aku berusaha mendapatkan
hatinya. Hati seorang gadis cantik, istimewa dan nyaris sempurna yang bernama
Reia. Hampir tidak ada yang dapat aku banggakan dari diriku sendiri. Aku
hanyalah seorang mahasiswa biasa dengan otak standard dan tidak terlalu kaya.
Jika saja teman-temanku tidak mengatakan kalau aku tampan, aku tidak akan
pernah punya nyali untuk mengatakan cinta kepada Reia.
Rasanya seperti mencium harum surga
ketika Reia bersedia menerima cinta seorang biasa seperti aku. Hampir 6 tahun,
kami berpacaran. Hubungan kami berjalan baik-baik saja meskipun kadang ada
kerikil kecil yang mengganjal.
Namun, semua keindahan dan kebahagiaan
itu hancur karena peristiwa itu. Well, aku
tidak pernah menyangka kalau Reia begitu marahnya ketika dia mengira aku tidak
mengingat hari ulang tahunnya. Padahal aku ingat. Sangat ingat. Bahkan aku
sudah mempersiapkan hadiah istimewa untuknya.
“Aku benci sama kamu!” marah Reia
sambil memukul dadaku. “Hari ini aku ulang tahun, tapi kamu belum mengucapkan
selamat. Aku malah ragu kalau kamu inget sama ulang tahunku.” Cerocosnya
kemudian.
“Aku inget kok, sayang.” Kataku membela diri.
“Buktinya apa?”
“Sebentar!” aku merogoh saku
jaketku. Cukup lama aku mencari benda yang sejatinya akan aku hadiahkan kepada
Reia. Tapi, kenapa? Kenapa tidak ada? Atau jangan-jangan terjatuh? Aku mulai
dirundung cemas.
“Mana?” sergah Reia.
“Sayang, tadinya aku mau ngasih kamu…”
“Nggak usah banyak alasan, deh. Bilang aja kalau kamu lupa sama aku
gara-gara perempuan tadi.”
Aku mengernyitkan dahi. “Perempuan
yang mana?”
“Kamu selingkuh, kan?” tuding Reia.
Aku terkesiap mendengar tuduhan itu.
“Reia, kamu salah paham.”
Reia menggeleng keras. “Mulai
sekarang…”
Jangang! Jangan bilang kalau Reia
akan mengatakan…
“Kita putus!” tegas Reia, lalu
berbalik dan berjalan meninggalkanku yang masih berdiri tak bergeming. Aku
terkejut. Aku sakit hati. Rasanya ingin mati saja saat itu.
***
“Kita juga putus hari ini.” Tutur
Davian menutup ceritanya.
Sachi menggeleng sambil
mengusap-usap dahinya. “Jadi kita punya ending
yang sama?” katanya menyimpulkan.
Davian mengangguk berat. “Dan, kita
sama-sama nggak yakin dengan ending kita.”
“Karena nggak yakin, kita jadi punya
tujuan untuk mengakhirinya di tempat ini.” Sambung Sachi.
Davian menoleh Sachi. Dia tersenyum
kecil sembari menggenggam tangan Sachi. Mata mereka saling bertemu. Beradu.
Cukup lama, hingga hening melanda seketika.
Davian semakin erat menggenggam
tangan Sachi. Jemarinya mengunci lembut dan disambut jemari Sachi yang
menggamit tak kalah erat.
“Gimana kalau kita bikin ending yang bagus?” tawar Davian
tiba-tiba.
“Happy
ending?”
Davian mengangguk cepat. “At least, lebih happy dari sekedar lompat dari gedung ini.”
Sachi menunduk malu-malu. Biar
bagaimanapun, mereka baru saja mengenal satu sama lain. Belum juga ada sebuah
klimaks, namun ending sudah
terpikirkan secara cepat.
***
Beberapa jam sebelumnya…
Davian tersenyum di sepanjang jalan.
Dia melangkah sambil memandangi sebuah cincin yang baru saja dia beli. Dia
memasukan cincin itu ke dalam saku jaketnya. Senyumnya masih merekah. Dia
seperti tidak sabar untuk segera bertemu dengan seseorang.
Dia melirik jam tangannya. Tanpa
sengaja, dia menabrak seorang gadis. Keduanya sama-sama jatuh terduduk. Davian
segera bangkit.
“Maaf Mba, tadi saya nggak sengaja.”
Davian berusaha menolong gadis tersebut. Tanpa disadari, seorang gadis lain
melihat pemandangan itu dengan hati cemburu.
Gadis itu menepiskan tangan Davian dengan kasar.
“Lain kali hati-hati dong, Mas.”
Gadis tersebut beranjak dan langsung pergi begitu saja sebelum Davian sempat
melihat wajahnya.
Davian nampak sedikit kesal. Dia menarik nafas
dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelan-pelan. Kemudian, dia berbalik dan
melanjutkan langkahnya tanpa menyadari bahwa ada sesuatu yang terjatuh dari
saku jaketnya.
“Mulai sekarang… kita putus!” Kata Reia, berhasil
membuat Davian sakit hati. Reia berlalu meninggalkan Davian setelah mengucapkan
kalimat barusan.
Davian meremas rambutnya dengan geram. Dia tidak
menyangka bahwa Reia akan memutuskannya begitu saja. Dia kembali merogoh
sakunya, tapi tidak juga menemukan cincin yang seharusnya dia berikan kepada
Reia di hari ulang tahunnya. Apakah cincinnya terjatuh ketika dia menabrak
gadis itu di tepi jalan beberapa waktu lalu? Terka Davian. Dia mengangguk
mantap, kemudian bergegas mencari cincin itu.
Reia menghentikan langkahnya. Perlahan, dia
membalikan badan berharap jika Davian akan menghampiri dan memberikan
penjelasan. Namun, dia nampak kecewa karena Davian sudah tidak berada di tempat
tadi.
‘Bahkan, kamu
nggak mencoba untuk membuatku kembali luluh sama kamu.’ Reia membatin. Mengecap pahit. Dia kembali berbalik
dan menyeberang jalan tanpa lihat kanan-kiri hingga sebuah motor melaju dan
menabraknya.
Bukk!!
“Maaf banget ya,
aku tadi nggak sengaja nabrak kamu.” Kata pria bernama Raihan setelah
mengantarkan Reia sampai di depan rumahnya.
Reia mengangguk kecil. “Aku yang seharusnya minta
maaf. Aku jalan nggak liat-liat. Lagian, aku juga nggak apa-apa, kok. Cuma lecet-lecet sedikit.”
Jelasnya.
“Bagus deh kalau
kamu nggak apa-apa.”
Reia mengangguk lagi. “Ya udah, aku duluan ya…”
“Sebentar…” tahan Raihan.
Reia diam, menunggu apa yang akan dikatakan Raihan
kepadanya. Raihan merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah cincin. “Hari
ini adalah hari ulang tahun pacarku. Niatnya aku mau kasih kejutan buat dia.
Aku udah siapin semuanya sejak satu minggu yang lalu. Aku juga sementara sengaja
menjauh dari dia. Aku ingin buat dia lebih kangen sama aku.”
Reia hanya tersenyum kecil mendengar ocehan Raihan.
“Aku akan kasih ini buat dia. Sebagai perempuan,
apakah kamu suka sama cincin ini?” tanya Raihan sambil menunjukan cincin di
telapak tangannya.
Di saat yang bersamaan, Sachi tengah berjalan sambil
mengusap-usap sikunya yang nampak sedikit lecet.
“Dasar cowok sialan! Jalan nggak pake mata!” gerutu
Sachi, mengingat kejadian ketika dia bertabrakan dengan seorang laki-laki di
tepi jalan beberapa saat yang lalu.
Langkah Sachi sontak tersendat ketika matanya
melihat sosok Raihan, kekasihnya. Sachi membekap mulutnya dengan mata yang
memanas saat mendapati Raihan yang tengah menunjukan sebuah cincin kepada Reia,
gadis yang tidak dikenalnya.
Setelah Reia pergi, Sachi berjalan mendekati Raihan.
Tanpa segan, dia menampar pipi Raihan dengan keras.
“Maksud kamu apa sih, say…”
“Jangan panggil aku ‘sayang’!” Sachi
memotong kalimat Raihan dengan nada meninggi. Air matanya mengalir deras
membajiri pipi.
“Kamu jahat!” pekik Sachi dengan suara bergetar.
“Mulai sekarang… kita putus!” tegasnya, kemudian pergi meninggalkan Raihan.
Sachi menangis sesenggukan di sepanjang jalan.
Hatinya benar-benar sakit, seperti diiris ribuan pedang tajam. Dia tidak
menyangka jika hubungannya dengan Raihan akan berakhir seperti ini. Rasanya
seperti ingin mati.
***
Jadi bunuh diri nggak sih?
BalasHapusLet readers determine the ending
BalasHapus