The Ending


Sachi berjalan tanpa menghiraukan angin, arah, tempat bahkan malam yang semakin naik merangkak larut. Kedua kakinya menapaki anak tangga satu demi satu.
            Seorang diri, Sachi duduk di tepi atap bangunan yang cukup tinggi. Rambut panjangnya melambai-melambai mengikuti pergerakan angin. Matanya menatap lurus, mengarah ribuan bintang yang tersebar tepat di depan wajahnya. Wajah yang sayu dan sedikit hitam pada areal lingkar matanya. 

            Ingin rasanya dia menangis, namun air mata seolah sudah terkuras habis seharian tadi. Gilirannya untuk berdiam. Mendiami batinnya yang sesungguhnya tengah tercabik-cabik oleh sebuah klise yang sering disebut…
            “Cinta…” Desah Sachi.
            Suara orang berdehem sedikit mengejutkan Sachi. Dia menoleh ke arah samping kiri sambil memasang wajah penuh tanya. Seorang laki-laki dengan mata tajam dan wajah tampan tersenyum kecil ke arahnya.
            “Cinta?” ucap lelaki tadi dengan nada bertanya.
            Sachi mengerutkan kening. “Maksudnya?”
            Lelaki itu kembali tersenyum tanpa arti. “Aku denger tadi kamu bilang kata ‘cinta’.” Jelasnya seolah sudah duduk di sebelah Sachi sebelum gadis manis bermata bening itu mendesah kata ‘cinta’.
            Sachi menaikan kedua alisnya tanpa mengucapkan sepatah katapun.
            “Davian.” Kata lelaki itu sambil mengulurkan tangannya.
            Dengan sedikit ragu, Sachi menyambut uluran tangan Davian seraya menyebutkan namanya, “Sachi.”
            Davian mengangguk-angguk. Sachi melepaskan tangannya dari genggaman Davian. Baru saja dia hendak mengalihkan kembali pandangannya ke depan, sebelum Davian mengatakan, “Aku masih penasaran dengan ending-nya.”
            Sachi lagi-lagi mengerutkan kening. “Maksud kamu ending apaan?”
            “Kata ‘cinta’ yang tadi kamu bilang, pasti ada lanjutannya, kan?” terka Davian.
            Sachi mengangguk pelan. “Tapi, aku nggak yakin sama ending-nya.”
            “Kenapa?”
            “Sebenarnya, ada dua ending dari cinta. Pertama adalah kebahagian. Kedua adalah kepahitan.” Terang Sachi, lalu menelan ludah sebentar. “Sialnya, aku kebagian ending yang kedua.” Lanjutnya.
            “Kamu lagi sakit hati?” tebak Davian, disusul anggukan berat dari Sachi. Gadis itu menengok ke depan sembari memandangi bintang yang berkelip bergantian.
            “Aku baru aja putus dari pacarku.” Kata Sachi, mengecap pahit.
            “Boleh tahu kenapa?”
            “Klise…” singkat Sachi sambil tersenyum sinis.
            “Maksud kamu pertanyaanku klise?”
            Sachi menggeleng pelan. “Alasannya klise.” Jawabnya sambil menengok Davian dengan mata meredup. “Pacarku selingkuh…”
            “…”
***
            Mungkin, menurut sebagian orang, aku adalah wanita paling beruntung yang menginjakan kaki di dunia yang huge ini. Bagaimana tidak? Aku terpilih menjadi kekasih seorang pria yang tampan, populer, soleh, kaya dan pintar.
            Dia Raihan. Pacarku yang tampan seperti pangeran negeri dongeng. Kita sudah menjalin hubungan sejak kita masih kuliah. Dari puluhan gadis cantik yang menyukainya, dia memilihku tanpa alasan. Itu yang membuatku merasa menjadi gadis istimewa diantara gadis-gadis cantik bak burung merak yang mempesona.
            Jika ditanya dengan pertanyaan yang prestigious seperti ‘apakah aku bahagia?’ Tentu aku bahagia. Bahkan sangat bahagia. Tapi, itu dulu. Dulu, sebelum dia menghilang tanpa kabar selama seminggu terakhir. Dulu, sebelum dia tak pernah mengubungi atau dapat dihubungi. Dulu, sebelum dia mengabaikanku. Dan, dulu, sebelum dia… selingkuh.
            Kekacauan demi kekacauan yang melanda selama seminggu terakhir ini, membuat hubungan kami yang sudah berjalan sekitar 6 tahun harus kandas. Aku berusaha untuk percaya padanya. Tapi, aku juga tidak kuat dengan segala macam gosip yang menyatakan jika Raihan selingkuh dengan perempuan lain.
            Hingga semua itu seakan mencapai klimaks ketika aku melihat Raihan tengah menurunkan seorang wanita di pinggir jalan. Bahkan aku sempat melihat Raihan sedang memberikan sebuah cincin untuk wanita itu. What the...?
            Aku langsung menghampiri Raihan tak lama setelah wanita itu pergi. Tamparan pedas tak segan aku daratkan di pipi Raihan dengan sukses.
            “Sayang, kenapa kamu nampar aku?” tanya Raihan sambil memegangi pipinya sebelah kanan.
            “Aku nggak nyangka kamu tega banget sama aku.” Kataku dengan mata berkaca-kaca.
            “Maksud kamu apa sih, say…”
            “Jangan panggil aku ‘sayang’!” aku memotong kalimat Raihan dengan nada meninggi. Air mataku sudah tak dapat lagi dibendung. Hatiku sakit. Bahkan lebih sakit dari sekedar tamparan yang aku berikan kepada Raihan.
            “Sumpah, aku nggak ngerti…”
            “Kamu jahat!” lagi-lagi aku memotong sebelum Raihan menyelesaikan kalimatnya. “Mulai sekarang…” aku menjeda kalimatku sebentar. Jemariku bergetar. Tubuhku tak kalah bergempa. Air mata mengalir diantara ribuan detak jantung dan nafas menderu ketika aku mengatakan, “Kita putus!”
***
            “Kita putus hari ini.” Kata Sachi menutup ceritanya.
            Davian menggaruk-garuk dagunya. “Apa pikiran lo nggak terlalu dangkal karena udah seenaknya nuduh Raihan selingkuh?”
            “Perempuan itu punya insting yang kuat, Dav.” Sahut Sachi.
            Davian menarik nafas seraya menggeleng kepalanya berkali-kali. “Perempuan seperti kamu yang membuat laki-laki kayak aku ini jadi merasa bodoh, tau nggak?” ucap Davian sambil menunjuk-nunjuk wajah Sachi.
            Sachi menepis tangan Davian sambil memasang wajah berlipat. “Perempuan kayak gimana tuh maksud kamu?”
            “Ya kayak kamu. Yang nggak mikir dulu sebelum nuduh seenaknya.”
            “Atas dasar apa kamu ngomong kayak gitu?” sahut Sachi, mulai kesal.
            Davian menatap mata Sachi dengan tatapan malas. “Aku baru aja diputusin gara-gara pacarku nuduh aku selingkuh!”
            Sachi terperanjat.
***
            Susah payah aku berusaha mendapatkan hatinya. Hati seorang gadis cantik, istimewa dan nyaris sempurna yang bernama Reia. Hampir tidak ada yang dapat aku banggakan dari diriku sendiri. Aku hanyalah seorang mahasiswa biasa dengan otak standard dan tidak terlalu kaya. Jika saja teman-temanku tidak mengatakan kalau aku tampan, aku tidak akan pernah punya nyali untuk mengatakan cinta kepada Reia.
            Rasanya seperti mencium harum surga ketika Reia bersedia menerima cinta seorang biasa seperti aku. Hampir 6 tahun, kami berpacaran. Hubungan kami berjalan baik-baik saja meskipun kadang ada kerikil kecil yang mengganjal.
            Namun, semua keindahan dan kebahagiaan itu hancur karena peristiwa itu. Well, aku tidak pernah menyangka kalau Reia begitu marahnya ketika dia mengira aku tidak mengingat hari ulang tahunnya. Padahal aku ingat. Sangat ingat. Bahkan aku sudah mempersiapkan hadiah istimewa untuknya.
            “Aku benci sama kamu!” marah Reia sambil memukul dadaku. “Hari ini aku ulang tahun, tapi kamu belum mengucapkan selamat. Aku malah ragu kalau kamu inget sama ulang tahunku.” Cerocosnya kemudian.
            “Aku inget kok, sayang.” Kataku membela diri.
            “Buktinya apa?”
            “Sebentar!” aku merogoh saku jaketku. Cukup lama aku mencari benda yang sejatinya akan aku hadiahkan kepada Reia. Tapi, kenapa? Kenapa tidak ada? Atau jangan-jangan terjatuh? Aku mulai dirundung cemas.
            “Mana?” sergah Reia.
            “Sayang, tadinya aku mau ngasih kamu…”
            “Nggak usah banyak alasan, deh. Bilang aja kalau kamu lupa sama aku gara-gara perempuan tadi.”
            Aku mengernyitkan dahi. “Perempuan yang mana?”
            “Kamu selingkuh, kan?” tuding Reia.
            Aku terkesiap mendengar tuduhan itu. “Reia, kamu salah paham.”
            Reia menggeleng keras. “Mulai sekarang…”
            Jangang! Jangan bilang kalau Reia akan mengatakan…
            “Kita putus!” tegas Reia, lalu berbalik dan berjalan meninggalkanku yang masih berdiri tak bergeming. Aku terkejut. Aku sakit hati. Rasanya ingin mati saja saat itu.
***
            “Kita juga putus hari ini.” Tutur Davian menutup ceritanya.
            Sachi menggeleng sambil mengusap-usap dahinya. “Jadi kita punya ending yang sama?” katanya menyimpulkan.
            Davian mengangguk berat. “Dan, kita sama-sama nggak yakin dengan ending kita.”
            “Karena nggak yakin, kita jadi punya tujuan untuk mengakhirinya di tempat ini.” Sambung Sachi.
            Davian menoleh Sachi. Dia tersenyum kecil sembari menggenggam tangan Sachi. Mata mereka saling bertemu. Beradu. Cukup lama, hingga hening melanda seketika.
            Davian semakin erat menggenggam tangan Sachi. Jemarinya mengunci lembut dan disambut jemari Sachi yang menggamit tak kalah erat.
            “Gimana kalau kita bikin ending yang bagus?” tawar Davian tiba-tiba.
            “Happy ending?”
            Davian mengangguk cepat. “At least, lebih happy dari sekedar lompat dari gedung ini.”
            Sachi menunduk malu-malu. Biar bagaimanapun, mereka baru saja mengenal satu sama lain. Belum juga ada sebuah klimaks, namun ending sudah terpikirkan secara cepat.
***
            Beberapa jam sebelumnya…
            Davian tersenyum di sepanjang jalan. Dia melangkah sambil memandangi sebuah cincin yang baru saja dia beli. Dia memasukan cincin itu ke dalam saku jaketnya. Senyumnya masih merekah. Dia seperti tidak sabar untuk segera bertemu dengan seseorang.
            Dia melirik jam tangannya. Tanpa sengaja, dia menabrak seorang gadis. Keduanya sama-sama jatuh terduduk. Davian segera bangkit.
            “Maaf Mba, tadi saya nggak sengaja.” Davian berusaha menolong gadis tersebut. Tanpa disadari, seorang gadis lain melihat pemandangan itu dengan hati cemburu.
Gadis itu menepiskan tangan Davian dengan kasar. “Lain kali hati-hati dong, Mas.” Gadis tersebut beranjak dan langsung pergi begitu saja sebelum Davian sempat melihat wajahnya.
Davian nampak sedikit kesal. Dia menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelan-pelan. Kemudian, dia berbalik dan melanjutkan langkahnya tanpa menyadari bahwa ada sesuatu yang terjatuh dari saku jaketnya.

“Mulai sekarang… kita putus!” Kata Reia, berhasil membuat Davian sakit hati. Reia berlalu meninggalkan Davian setelah mengucapkan kalimat barusan.
Davian meremas rambutnya dengan geram. Dia tidak menyangka bahwa Reia akan memutuskannya begitu saja. Dia kembali merogoh sakunya, tapi tidak juga menemukan cincin yang seharusnya dia berikan kepada Reia di hari ulang tahunnya. Apakah cincinnya terjatuh ketika dia menabrak gadis itu di tepi jalan beberapa waktu lalu? Terka Davian. Dia mengangguk mantap, kemudian bergegas mencari cincin itu.
Reia menghentikan langkahnya. Perlahan, dia membalikan badan berharap jika Davian akan menghampiri dan memberikan penjelasan. Namun, dia nampak kecewa karena Davian sudah tidak berada di tempat tadi.
‘Bahkan, kamu nggak mencoba untuk membuatku kembali luluh sama kamu.’ Reia membatin. Mengecap pahit. Dia kembali berbalik dan menyeberang jalan tanpa lihat kanan-kiri hingga sebuah motor melaju dan menabraknya.
Bukk!!

“Maaf banget ya, aku tadi nggak sengaja nabrak kamu.” Kata pria bernama Raihan setelah mengantarkan Reia sampai di depan rumahnya. 
Reia mengangguk kecil. “Aku yang seharusnya minta maaf. Aku jalan nggak liat-liat. Lagian, aku juga nggak apa-apa, kok. Cuma lecet-lecet sedikit.” Jelasnya.
“Bagus deh kalau kamu nggak apa-apa.”
Reia mengangguk lagi. “Ya udah, aku duluan ya…”
“Sebentar…” tahan Raihan.
Reia diam, menunggu apa yang akan dikatakan Raihan kepadanya. Raihan merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah cincin. “Hari ini adalah hari ulang tahun pacarku. Niatnya aku mau kasih kejutan buat dia. Aku udah siapin semuanya sejak satu minggu yang lalu. Aku juga sementara sengaja menjauh dari dia. Aku ingin buat dia lebih kangen sama aku.”
Reia hanya tersenyum kecil mendengar ocehan Raihan.
“Aku akan kasih ini buat dia. Sebagai perempuan, apakah kamu suka sama cincin ini?” tanya Raihan sambil menunjukan cincin di telapak tangannya.
Di saat yang bersamaan, Sachi tengah berjalan sambil mengusap-usap sikunya yang nampak sedikit lecet.
“Dasar cowok sialan! Jalan nggak pake mata!” gerutu Sachi, mengingat kejadian ketika dia bertabrakan dengan seorang laki-laki di tepi jalan beberapa saat yang lalu.
Langkah Sachi sontak tersendat ketika matanya melihat sosok Raihan, kekasihnya. Sachi membekap mulutnya dengan mata yang memanas saat mendapati Raihan yang tengah menunjukan sebuah cincin kepada Reia, gadis yang tidak dikenalnya.
Setelah Reia pergi, Sachi berjalan mendekati Raihan. Tanpa segan, dia menampar pipi Raihan dengan keras.
            “Maksud kamu apa sih, say…”
            “Jangan panggil aku ‘sayang’!” Sachi memotong kalimat Raihan dengan nada meninggi. Air matanya mengalir deras membajiri pipi.           
“Kamu jahat!” pekik Sachi dengan suara bergetar. “Mulai sekarang… kita putus!” tegasnya, kemudian pergi meninggalkan Raihan.
Sachi menangis sesenggukan di sepanjang jalan. Hatinya benar-benar sakit, seperti diiris ribuan pedang tajam. Dia tidak menyangka jika hubungannya dengan Raihan akan berakhir seperti ini. Rasanya seperti ingin mati.
***

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer