Bulan Berbohong
CLBK (Cerita Lama Baca Kembali)
Tengah
malam penghujung awal April, tangisan mereka meledak dan begitu memilukan, membangunkanku yang baru
saja tertidur. Aku menengok ke arah kiri lorong rumah sakit, melihat seorang
ibu terisak sambil memeluk tubuh renta sang suami. Seorang dokter hanya mengangguk
berat, menunduk sejenak lalu melaju begitu saja dari hadapan keduanya. Batinku
serasa sesak melihat pemandangan tersebut.
Aku berdiri, berjalan sempoyongan menghampiri kedua
orang yang sedang berbalut tangis itu. Aku menatap mereka, lalu beralih mengarahkan
padangan ke dalam sebuah ruangan kamar. Nampak seorang suster yang sedang
menutup seluruh tubuh pasien yang sudah terbujur kaku. Tubuhku meradang.
Wajahku mengeras. Mataku memanas. Hatiku… hancur.
***
Namaku Surya. Bisa dibilang aku
adalah salah satu pria yang paling beruntung di dunia ini. Aku dilahirkan oleh
seorang wanita baik yang bersuamikan pengusaha sukses. Pekerjaanku juga sangat
cemerlang. Belum lagi sosok wanita cantik yang selalu setia mendampingiku,
Bulan.
Kata sebagian orang, aku dan Bulan
memang ditakdirkan berjodoh. Surya atau matahari adalah pasangan yang serasi
untuk Bulan. Keduanya adalah benda langit yang memberikan terang untuk bumi.
Tapi, sebagian orang juga berkata bahwa kami tidak akan pernah cocok. Surya dan
Bulan memang memancarkan cahaya untuk bumi, namun keduanya tidak pernah bertemu
di satu langit dalam waktu yang sama.
Terserah apa yang dikatakan
orang-orang itu terhadap hubungan kami. Yang aku tahu bahwa aku sangat
mencintai Bulan dan sebaliknya. Kami sudah berpacaran hampir 5 tahun. Bahkan
dalam waktu dekat ini, kami berdua akan segera melangsungkan pernikahan.
“Aku seneng deh sama desain undangannya. Simple
tapi elegan.” Ujar Bulan sambil
mengamati sampel undangan yang baru saja aku tunjukan padanya.
Aku tersenyum sambil mengangguk
setuju. Undangan itu adalah desainku sendiri. Aku ingin semuanya terasa
istimewa bagi Bulan.
“Aku nggak nyangka kamu dengerin
konsep aku juga.” Kata Bulan lagi.
“Apa sih yang nggak buat kamu.” Balasku seraya mengambil satu lagi
contoh undangan pernikahan kami. “Lagian aku suka dengan konsep kamu yang
mencantumkan huruf jawa dalam penulisan nama kita.” Aku mengamati tulisan aksara
jawa yang dibaca SURYA WINOKO dan BULAN SABITA. “Harusnya nggak usah ada
tulisan terjemahannya segala.” Tambahku sambil memperhatikan tulisan latin yang
menerjemahkan aksara jawa tadi.
Bulan tersenyum kecil. “Kan nggak semua orang tau aksara jawa,
sayang.”
Aku mengangguk-angguk. Kuletakan
undangan tadi di atas meja. Kemudian, aku menggenggam kedua tangan Bulan dengan
lembut. Bulan nampak terkejut dengan perlakuanku. Aku menatap wajahnya penuh
lekat. Matanya begitu indah. Bercahaya seperti kumpulan sinar bulan. Bibirnya
juga merah merekah meskipun tidak tersentuh oleh goresan lipstick.
“Aku nggak peduli bentuk undangannya
akan seperti apa, yang penting aku nikahnya sama kamu. Aku bisa mati kalau
hidup tanpa kamu.” Kataku tegas.
Bulan membalas menatap mataku.
Setelah menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, sepasang bibirnya
mulai bergerak, “Aku juga nggak bisa hidup tanpa kamu. Aku lebih baik mati
kalau kamu ninggalin aku.”
Aku tersenyum penuh sanjung.
Langsung saja kurengkuh tubuh Bulan dengan sangat erat.
***
Sore menjelang ketika mentari sudah
tak terlalu menyengatkan sinar panasnya. Aku berjalan menuju apartment tempat tinggal Bulan. Baru
saja aku menginjakan langkahku di lantai flat
Bulan, ponselku berbunyi nyaring mengejutkanku. Buru-buru aku mengangkat
telepon yang masuk sebelum orang-orang terganggu dengan suara dering ponsel
yang sengaja di-setting dengan volume maksimal.
“Halo, Van.” Sapaku kepada Ivan,
saudara sepupuku.
“Surya, elo jangan kaget ya…” seru Ivan dengan nafas yang
terdengar bersaut-sautan.
Aku mencoba tenang meskipun
pikiran-pikiranku mulai menebak hal buruk apa yang akan diucapkan Ivan.
“Kk, kenapa, Van…?” aku memberanikan
diri untuk bertanya.
“…”
***
Bulan menyambutku dengan wajah
girang. Dia langsung menuntunku masuk ke dalam apartment-nya. Dia masih belum menyadari jika sinar mataku meredup,
tak bernyawa.
“Kamu temenin aku sebar undangan ke
rumah temen-temen SMA-ku ya…” pinta
Bulan dengan wajah manja.
Aku hanya diam.
“Sebentar, aku ambilin dulu
undangan…”
“Bulan…” potongku sambil menahan
tangan Bulan. Gadis itu berbalik, menatapku dengan raut penuh tanya.
Setelah diam merangkai kata, aku
menggelengkan kepala pelan sambil mengatakan, “Aku nggak bisa.”
Bulan mengerutkan keningnya.
“Maksudnya kamu nggak bisa temenin aku sebar undangan?”
“…”
“Ya
udah kalau gitu, biar aku sendiri yang…”
“Aku nggak bisa nikah sama kamu.”
Potongku lagi.
Terlihat jelas raut shock di wajah Bulan. Cukup lama dia
terdiam. Mungkin dia sedang berusaha untuk mencerna apa maksud dari ucapanku
barusan.
“Mm,
maksud kamu?” tanyanya dengan suara yang mulai parau.
Aku menunduk sebentar, kemudian
kembali mengangkat wajahku dan menatap Bulan dengan ekspresi sendu. “Lebih baik
kita batalin pernikahan kita.”
Butir embun berhasil menetes dari
pelupuk mata Bulan. Dia melepaskan genggaman tanganku seraya menggeleng lemah.
“Aku minta maaf sama kamu. Tapi ada
alasan yang…”
“Aku nggak mau liat kamu lagi.”
Sahut Bulan.
“Bulan, aku mohon dengerin penjelasanku
dulu.” Pintaku.
“Pergi!” usir Bulan.
“Bulan…”
“Pergi!!” bentak Bulan.
Well,
aku menyerah. Aku membalikan badan dan kemudian melangkah perlahan keluar
dari apartment Bulan.
Aku melangkah keluar dari lobby gedung. Aku menghentikan
langkahku. Sepertinya aku harus mencoba menjelaskan kepada Bulan sekali lagi.
Bulan harus bisa mengerti dengan alasan yang aku ceritakan. Aku mengangguk mantap.
Lalu, aku berbalik dan hendak kembali melangkah masuk ke dalam gedung apartment sebelum tiba-tiba…
BUKK!!
Tubuh seorang gadis terjatuh dari
atas lantai 15, tergeletak tepat di hadapanku. Semua orang berkerumun
menyaksikan peristiwa tragis tersebut. Aku terkejut. Mataku tidak bisa berkedip
ketika cipratan darah mengenai wajahku. Jantungku nyaris berhenti berdetak,
nafasku sesak, darahku hampir membeku ketika menyadari bahwa gadis itu adalah…
Bulan.
***
“Tim dokter sudah berusaha semaksimal mungkin, namun nyawa Bulan tidak
berhasil diselamatkan.” Jelas dokter yang menangani Bulan. Kedua orang tua
Bulan sontak menangis tersedu-sedu setelah mendengar berita buruk itu.
Aku yang sedari tadi hanya duduk
lesu di kursi penjenguk rumah sakit, beranjak dan melangkah terseok-seok menuju
ruangan kamar Bulan. Aku melihat tubuh Bulan yang sudah tertutup selimut
seluruhnya. Air mataku meleleh deras. Aku bahkan tak bisa menguraikan seperti
apa gambaran rasa sedihku. Lidahku juga begitu kelu. Untuk berteriak mengucap
nama BULAN saja, aku tak mampu. Aku menyandar ke dinding dan tubuhku merosot
dengan sangat lemah. Wajahku tenggelam dalam kedua telapak tangan. Tubuhku
tersengal-sengal menahan sakit, perih, marah, kecewa, menyesal dan beribu
bahkan berjuta rasa sakit yang seakan berkecamuk dalam jiwa dan hatiku.
“Bulan, kenapa kamu melakukan hal
sebodoh itu? Kenapa kamu harus meninggal tanpa tahu alasan apa yang ingin aku
ceritakan padamu? Kenapa kamu begitu marah padaku? Seharusnya kamu tidak boleh
marah. Seharusnya kamu tidak boleh sedih. Seharusnya kamu tidak boleh bunuh
diri. Seharusnya kamu tidak boleh mati, karena itu hanyalah…”
***
Sore itu, ketika Ivan tiba-tiba
meneleponku sebelum aku masuk ke dalam flat
milik Bulan.
“Halo, Van…”
“Surya, elo jangan kaget ya…”
Entah kenapa aku mulai cemas dengan
apa yang akan diucapkan Ivan. “Kk, kenapa Van?”
“Bokap lo… bokap lo…”
“Bokap gue kenapa?” aku mendesak
Ivan untuk segera menceritakan apa yang terjadi dengan ayahku.
“Bokap lo…, bokap lo kecelakaan dan
dia baru aja meninggal.” Jelas Ivan.
Aku terkesiap. Rasanya dunia meledak
begitu saja setelah aku mendengar berita tersebut. “Elo… serius…?”
“Elo yang tabah ya!”
Mulutku ternganga lebar. Mataku
berkaca-kaca. Ponsel yang masih kugenggam di depan telingaku, hampir saja meluncur
jatuh sebelum Ivan mengatakan, “Tapi elo nggak boleh sedih. Elo juga nggak
boleh marah.”
“…”
“Karena itu hanyalah… April Mop!”
Ivan tergelak setelah menyelesaikan kalimat terakhirnya.
Rasanya aku ingin sekali melempar
wajah Ivan dengan ponsel. Namun aku tidak boleh marah, karena itu hanyalah
April Mop. Aku hanya bisa menertawai kepolosanku yang hampir menangis
dibuatnya.
Benar, hari ini adalah 1 April. Di
luar sana banyak orang yang dengan mudahnya membohongi orang lain dan orang
yang dibohongi akan memaafkannya. Sepertinya ini layak dicoba kepada Bulan. Toh, Bulan pasti akan mengerti dan
memaafkankanku meskipun aku mengatakan bahwa aku tidak bisa menikah dengannya.
Namun sekarang, semuanya sudah
terlambat. Bulan sudah meninggal karena dia kecewa terhadap kebohonganku. Dia
kecewa karena mungkin menganggapku sudah tidak mencintainya lagi.
Menyesal, adalah kata yang aku
desiskan ribuan kali. Aku sudah mengucapkan kata tersebut sedetik setelah aku
melihat tubuh Bulan yang sudah tergeletak bersimpuh darah di depan kedua
kakiku. Dia meninggal. Hatiku sakit setiap kali mengingat bahwa Bulan meninggal
hanya karena kebohonganku di April Mop. Semoga saja dia tahu kalau cintaku
padanya bukanlah hal yang disebut kebohongan.
***
April Mop can not be apllied in some ways tough
BalasHapusthat's tough version. lol
BalasHapus