RESEPSI

Inspired by a true Story, but
it's not a true story

            Harusnya, ini menjadi harinya kita berdua. Bukan hanya hariku semata. Bukan hanya aku sendiri yang berdiri di sini. Bukan hanya aku yang tersenyum meskipun hatiku getir… tanpamu.
            Dari tadi pagi, aku melihat raut sayu dan penuh iba dari berpasang-pasang mata milik orang-orang yang menjabat tanganku. Mereka tersenyum bersimpati. Aku tahu, aku sedang sakit sekarang. Sakit bukan karena aku memang sakit secara fisik, melainkan karena aku sakit harus sendirian menyalami satu-persatu tamu di depan pelaminan kita. 

            Sekali lagi, harusnya ini adalah hari kita berdua. Bersama meneguk cinta, bermanja asmara, bukan dipenuhi duka yang tertutup senyum simpulku.
***
            Aku masih ingat pertama kali kita bertemu. Saat itu, di rumah sakit, aku melihatmu keluar dari ruang dokter dengan mata basah. Karena penasaran, aku mengikutimu hingga kamu berhenti dan duduk di kursi panjang halaman rumah sakit.
            Aku masih melihatmu menangis. Berkali-kali aku mencuri pandang ke arahmu. Perlahan aku menggeser posisi dudukku agar lebih dekat denganmu. Aku semakin sadar jika wajahmu begitu cantik. Namun sayang, mata indah nan beningmu harus terkontaminasi dengan embun yang membuat kedua kelopaknya basah.
            “Kenapa kamu menangis?” tanyaku to the point. Aku memang bukanlah orang yang yang gemar berbasa-basi.
            Dengan ragu, kamu menengok ke arahku. Kamu menyeka air mata itu terlebih dulu sebelum mengucap lirih dengan suara parau, “Kamu… siapa?”
            Aku tersenyum. Sudah saatnya aku memperkenalkan diri. “Aku Arga. Kalau kamu…”
            Bukannya langsung menjawab, kamu malah menunduk sambil meremas amplop di dalam genggamanmu. Aku melirik amplop itu sejenak. “Itu amplop apa?” tanyaku penasaran.
            Kamu menengadahkan wajahmu dan memberikan amplop yang sudah lusuh itu kepadaku. Aku membuka amplop tersebut dan mengeluarkan isinya. Sebuah surat dari rumah sakit. Surat hasil laboratorium rupanya.
            Aku tersenyum kecil ketika membaca surat tersebut. “Jadi namamu… Dindra?”
            Kamu buru-buru merebut surat itu dariku dengan wajah kesal. “Seharusnya yang kamu baca bukan namaku, tapi hasil dari lab. Aku… kena kanker.”
            “So?” aku pura-pura bodoh. Sebetulnya, aku merasa iba dengan keadaanmu.
            Kamu tiba-tiba menangis sesenggukan seraya menenggelamkan wajah di dalam kedua telapak tanganmu. Meskipun awalnya aku ragu, aku memberanikan diri untuk sedikit menepuk bahumu dengan pelan. “Ini bukan akhir dari segalanya…” kataku mencoba menghiburmu.
            “Tapi aku akan mati!”
            “Semua orang bakal mati!” sahutku dengan suara yang agak keras.
            Kamu langsung mendongak dan menatapku dengan mata yang masih berkaca-kaca.
            “Kamu nggak boleh putus asa. Setiap orang punya apa yang namanya kekuatan hidup. Dan kamu harus tunjukin dan kerahkan semua kekuatan itu.” Ucapku yang meluncur begitu saja dari mulutku.
            Kamu hanya diam. Menatapku.
            Sejak itu, kita berdua menjadi dekat. Bahkan semakin lama, semakin akrab. Kita pun… pacaran.
***
            BRAKK…
            Kamu membuang makanan beserta obatmu dengan geram. Lalu, kamu menangis terisak-isak di atas ranjang tempat tidur. Aku membelai rambutmu, namun kamu malah menepiskan tanganku dengan agak kasar.
            “Kenapa kamu masih di sini?”
            “Aku ingin nemenin kamu…” jawabku tulus.
            “Aku nggak bakal sembuh. Buat apa kamu masih aja nungguin orang yang nggak punya harapan hidup sepertiku.” Katamu dengan putus asa.
            “Kamu jangan ngomong seperti itu, dong. Setiap orang punya apa yang namanya…”
            “Kekuatan hidup?” kamu memotong kalimat yang belum usai aku ucapkan. “Dan aku harus tunjukin dan kerahin semua kekuatanku. Itu kan yang ingin kamu bilang?” lanjutmu seolah sudah mendengar kalimat tersebut beribu-ribu kali.
            Aku meraih tanganmu dan menggenggamnya dengan lembut. “Aku nggak tau lagi kalimat apa yang harus aku ucapin untuk membuatmu bangkit. Tapi aku hanya ingin kamu tau satu hal. Aku ingin terus-terusan sama kamu. Aku bakal sakit kalau aku nggak sama kamu. Apa kamu mau aku sakit?” ucapku dengan mata berkaca-kaca.
            Kamu terdiam sambil menatapku cukup lama. Kemudian, kamu memelukku dengan sangat erat. Tangisanmu kembali pecah. Air matamu tumpah membanjiri pakaianku.
***
            Aku menatap wajahmu. Wajah yang tetap cantik meskipun pucat dengan bibir mengering, mata mengabur dan rambut yang rontok. Aku mengusap air matamu yang menetes dari sangkarnya. Bibirmu bergetar, mencoba menahan tangis agar tak kembali tumpah.
            “Apa kamu yakin?” itu adalah kelima kalinya kamu menanyakan pertanyaan yang serupa.
            Aku mengangguk untuk kesekian kalinya. “Kita akan menikah…”
            “Tapi…” kamu menghentikan kalimatmu sejenak. Nafasmu terdengar seperti sesak. Wajahmu memuram. “Aku… masih sakit.”
            Aku menggenggam tanganmu dengan lembut. “Aku tidak peduli dengan penyakitmu. Aku hanya ingin menikah denganmu. Aku ingin menjadi suamimu, yang ada di dalam setiap detik hidupmu.”
            Air mata kembali menetes dari pipimu. Aku tersenyum. Bukan karena senang melihatmu menangis, melainkan karena aku berusaha meyakinkan hatimu.
            “Kita akan menjadi sepasang pengantin yang paling bahagia.” Ucapku seraya menyeka air matamu. “Kita akan mengadakan resepsi. Banyak tamu yang akan kita undang untuk datang ke resepsi kita. Kita akan berdiri di pelaminan yang indah, dengan tebar senyum yang mempesona. Setelah itu, kita akan menghabiskan malam pertama di ranjang yang nyaman dan hangat.” Uraiku.
            Kamu menatapku dengan gurat sendu. Kulihat jelas senyummu yang mulai tersungging malu-malu. Aku semakin meremas tanganmu, lalu menciuminya berkali-kali.
***
            Dan, pagi kita akhirnya menjelang. Sebuah pagi yang menjadi detik-detik penyatuan cinta kita.
 Aku duduk di hadapan ayahmu yang menjabat erat tanganku. Nafasku sedikit tersengal, jantungku berdesir hebat. Ayahmu menatapku dengan sorot matanya yang tajam.
            “Saya terima nikahnya, Dindra Pawestri, binti Ibrahim, dengan mas kawin tersebut, dibayar… tunai!” suaraku lantang mengucapkan kalimat ijab. Saksi dari kedua mempelai serempak mengucap kata ‘sah’. Aku tersenyum bahagia, apalagi ketika melihatmu yang duduk di atas kursi roda, mendekatiku dengan senyum manis yang menawan.
            “Kita sudah menikah.” Girangku sembari menggamit kedua tanganmu erat-erat.
            Kamu mengangguk dengan senyum manis tadi. Namun, semakin lama aku melihat senyum itu memudar dari bibirmu. Wajahmu memucat, bahkan dandananmu tak dapat menutupi redupnya wajahmu.
            “Dindra…?” ujarku dengan cemas.
            Kamu masih berusaha untuk tersenyum. Tapi aku tahu jika kamu hanya memaksakan diri untuk melakukannya. “Ki..ta… menikah…” ucapmu lemah.
            “Kamu baik-baik aja?” aku semakin cemas melihat keadaanmu.
            Kamu mengangguk, tapi tak kunjung mengangkat wajahmu kembali.
            “Dindra…?”
            “…”
***
            “Aku nggak bisa meninggalkanmu di rumah sakit sendirian…” kataku sambil mengusap-usap rambutmu. Hatiku terkoyak saat memandang wajahmu yang sudah pucat pasi, tak berdaya.
            Kamu menggeleng lemah. “Ada ibu yang… jagain aku di sini.” Katamu dengan suara sangat pelan dan lemah.
            “Tapi…”
            Kamu menggeleng lagi. “Kamu harus pulang sekarang. Banyak tamu yang akan datang…”
            Sekuat tenaga, aku berusaha menahan air mataku. Hatiku terasa disayat-sayat, begitu pilu dan menyakitkan. Melihatmu seperti ini, membuatku tersiksa. Membuatku juga hampir mati.
            Kamu meraih tangan kananku. Senyummu masih saja pura-pura bergayut. “Pulanglah! Sambutlah tamu-tamu yang datang ke acara resepsi pernikahan kita…”
            “…”
***
            Satu persatu para tamu menyalamiku. Aku hanya membalas dengan senyum datar ketika mereka menebarkan senyum kepadaku. Semenjak acara resepsi ini berlangsung, tak ada seorang tamu pun yang mengucapkan selamat atas pernikahanku. Mungkin mereka sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin mereka merasa tidak enak untuk mengucapkan selamat padahal hatiku tengah bersedih.
            Aku menatap sisi kananku. Berdiri sepasang orang tuaku yang juga sibuk menyalami para tamu. Wajah keduanya juga nampak sendu. Aku beralih ke sisi kiri. Terlihat ayah mertuaku, ayah Dindra, yang merasa hancur sepertiku.
            Sepintas aku melirik ke arah beberapa anak kecil yang menatapku dengan penuh tanda tanya. Mungkin mereka heran mengapa hanya ada satu pengantin dalam sebuah acara pernikahan.
            Surya, adikmu, tiba-tiba berjalan menghampiri ayahmu dengan mata berlinang. Aku melihat Surya menangis di hadapan ayah sembari mengulurkan ponselnya. Seolah tahu apa yang akan diucapkan Surya, ayah menggeleng keras, tangis beliau meledak sejadi-jadinya. Aku membekap mulutku. Pikiran-pikiranku mulai berputar-putar. Aku melihat Surya dan ayah berpelukan sembari menangis sesenggukan. Tamu-tamu sontak terdiam dan bertanya-tanya.
            Aku menghampiri mereka berdua. Surya menatapku dengan mata yang banjir embun. Dengan gemetar, tangannya menjulurkan ponsel ke arahku.
            Aku meletakan ponsel itu di depan telinga. Mataku memanas meskipun aku belum berucap dan mendengar satupun kata dari seberang telepon.
            “Halo! Saya Arga. Saya… suaminya Dindra…”
            “Halo Pak Arga! Dokter sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi maaf…”
            Jantungku nyaris berhenti berdetak.
***
Courtesy of Google
            Aku menatap pusara makammu yang sudah ditaburi dengan bermacam bunga di atasnya. Hanya tinggal aku seorang yang masih menemanimu di sini. Melihat dan meraba namamu yang tertulis indah di papan nisan.
            Meski air mataku telah terkuras habis, tapi percayalah jika cintaku padamu tak berkurang sedikitpun.
            Jika saja sebelum pergi, kamu sempat mengucapkan sesuatu kepadaku. Mungkin, kamu akan mengatakan…
            ‘Setiap orang punya apa yang namanya kekuatan dalam hidup. Tapi pada suatu saat, kekuatan itu akan kalah pada takdir.
Sekarang, aku harus meninggalkanmu karena takdir. Tapi satu yang aku ingin darimu. Hiduplah dengan bahagia, meskipun itu tanpaku.
 Aku akan menunggumu di tempat terindah. Aku akan terus menunggumu, hingga takdir lelah dan akhirnya mengijinkan kita bertemu untuk melewati malam pertama yang sempat tertunda…’

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer