My Beloved 'Proposal'


  (Cerita ini hanyalah fiksi belaka, jika ada kesamaan nama-nama tokoh, itu memang disengaja. INGAT, ini hanya FIKSI. Nggak ada hubungannya dengan kenyataan. Ini cuma dibuat untuk lucu-lucuan/fun)


        Gue… Anis. Gue adalah salah satu dari sekian banyak mahasiswi ‘biasa’ yang pernah diciptakan dan masih eksis berdiri di planet ini. Gimana nggak ‘biasa’ coba? Gue nggak terlalu charming, bukan berarti gue jelek ya! Banyak kok yang bilang gue... ehmm... imut. 


     Mungkin salah satu kelebihan, sekaligus kekurangan gue adalah muka inoocent yang kadang disalahartikan oleh banyak orang. Untung sih punya jenis muka seperti ini, setidaknya gue nggak perlu operasi plastik cuma buat kelihatan muda. Tapi nggak untung juga kalau misalnya gue jalan-jalan ke pesta, pake gaun malam dengan lipstik menor yang lengketnya nggak abis-abis, mau dikata apa coba? Gue mungkin dikira sebagai anak kecil yang lagi nyoba alat-alat make up punya nyokap. Udah deh! Stop ngomongin segala macam jenis kekurangan gue, yang ada nanti penulis nih cerita bakal kesenengan minta ampun. #Hahaha
            Well, hari ini, dan di detik ini juga, gue sedang duduk tenang di depan ruang dosen. Sebuah aktivitas yang jarang banget gue lakukan. Ya, niatnya gue mau ngajuin konsep proposal skripsi sama dosen pembimbing tersayang. Mau nggak mau, gue mesti lakuin itu karena temen-temen angkatan gue sebagian udah pada kelar dengan tugas yang dinamakan ‘skripsi’. Sebut saja Pipit, seorang gadis yang menasbihkan dirinya sebagai gadis paling unyu sepanjang masa. Kalau muka gue bisa dikatakan muka yang bully-able, sedangkan Pipit memiliki muka yang sebel-able. Lalu Heru, seorang mahasiswa berwibawa yang kadang membuat para perempuan meleleh ketika melihat senyumnya. #sumpah, gue rada gimana pas nulis kalimat yang terakhir, hehehe.
            Heru langsung ambil posisi duduk di samping gue, tersenyum sambil memperbaiki posisi poninya. Gue balas senyumnya, dengan sedikit mata skeptic karena aneh melihat dia senyum-senyum nggak penting sambil ngelirik ke arah proposal yang gue pegang. Maksudnya apa coba? Ngehina gue karena dari dulu nggak kelar-kelar ngerjain skripsi? Sementara Pipit berdiri di depan gue, sembari menari-nari ala Cherrybelle dan menyanyikan lagu ‘Beautiful’. Ini lagi orang satu, ngeledek gue nggak abis-abis. Udah tau gue mau bimbingan dengan salah satu dosen killer, pake acara ngehibur dengan gerakan tari yang nyesek abis kalau keseringan dilihat.
            “Sebaiknya elo duduk deh, Pit! Pusing gue liat tarian lo.” Pinta Heru. Baru aja gue mau bilang kayak gitu, Heru udah bilang duluan. Duduklah si Pipit di sebelah kiri gue dengan anggun. Dan alhasil, sekarang gue diapit sama dua mahluk ini.
            “Udah sampe mana proposal lo, Nis?” tanya Pipit.
            Gue menarik nafas panjang sambil menunjukan proposal skripsi gue yang tipis. “Baru mau maju, nih. Semoga aja nggak ada revisian dan bisa diterima.”
            “Tapi kayaknya banyak deh. Namanya juga baru maju pertama, jadi nggak usah berharap lebih.” Heru menimpali.
            Gue cuma diem sambil tersenyum miris.
            “Kenapa dari dulu nggak diselesein sih?” sambar Pipit.
            “Males gue!” jawab gue enteng.
         “Terus, apa yang bikin elo sekarang nggak males? Karena temen-temen udah pada ujian skripsi?” giliran Heru yang bertanya lagi.
            Ya… itu salah satunya. Tapi sebenarnya bukan itu yang menjadi alasan gue kenapa bisa tiba-tiba jadi rajin bimbingan skripsi. Dulu, gue paling anti yang namanya skripsi. Denger namanya dan lihat bentuknya aja ogah. Seenggaknya permusuhan gue dengan skripsi terus berlangsung sengit, sebelum… dia muncul.
             Dan kemudian, mengalirlah cerita ini di dalam pikiran gue.

            Seorang mahasiswa dengan postur tubuh sedikit besar, putih dan berbulu janggut lebat, terlihat berdiri di depan pintu ruang dosen. Gue bener-bener terhipnotis dengan dia. Entah mengapa, mungkin karena gue udah lama nggak lihat cowok tambun kali ya.
            Dia baru saja keluar dari ruang dosen ketika gue lewat tanpa sengaja. Asap kereta api langsung mengepul dan membumbung di atas ubun-ubun kepala gue saat melihat cowok itu. “Gila, KyuhYun aja kalah.” Kata gue dalam hati.
            “Kenapa sih elo ngliatin gue?” cowok itu tiba-tiba menegur gue.
            Gue terkesiap dan buru-buru memasang tampang wajar. “Ng, elo abis ke ruang dosen?” dan gue pun menanyakan pertanyaan basi tersebut.
            Dia mengangguk dengan cool. “Habis bimbingan. Kenapa emang? Elo mau bimbingan skripsi juga?”
            Bimbingan skripsi? Apaan tuh? Yang ada gue musti cepat-cepat ke ruangan bimbingan konseling untuk curhat masalah kejiwaan gue yang tiba-tiba berbunga-bunga saat melihat cowok itu. “Gue baru aja bimbingan.” Kata gue berbohong. “Memang lo bimbingannya tiap kamis ya?” tanya gue kemudian.
            Dia mengangguk.
            “Gue juga tiap kamis.” Jawab gue, bohong lagi. Gue sama sekali belum pernah mengalami hal tersebut. “Oh iya, boleh tau nama kamu?”
            Dia mendelik. Mungkin sempet heran karena tiba-tiba saja gue ngajak kenalan.
            “Nama gue… Ibnu!” jawabnya.
            Ibnu! That’s his name. I’ll remember it. “Gue Anis. Tapi, kok gue nggak pernah ketemu elo ya? Padahal kita satu prodi.” Kata gue lagi, sok asik.
            Ibnu mengerutkan keningnya saat kembali menjawab. “Masa, sih? Gue juga baru liat lo. Padahal tiap hari gue nongkrong di kampus, dan gue juga cukup terkenal. Mungkin elo kali yang kurang ‘gaul’.” 
            That’s the point! Seperti yang dibilang di paragraph pertama cerita ini, gue ini mahasiswa ‘biasa’ yang nggak terlalu terkenal dan mengenal banyak orang. Okay, gue akuin itu. Forget it! Yang penting gue harus nanyain nomor ponselnya sebelum dia pergi. “Kalau boleh, gue minta nomor HP lo dong.” Pinta gue agak canggung. “Ya maksud gue, kan kita bisa konsul bareng-bareng atau janjian kalau mau bimbingan.”
            “Gue bimbingannya cuma tiap hari kamis, kok. Jadi, kalau lo mau ngajak konsul atau ngomong apa gitu sama gue, ya hari kamis aja.” kata Ibnu yang secara nggak langsung nolak memberikan nomornya.
            Gue meneguk ludah, merasa salah tingkah. “Oh gitu ya.”
            Ibnu mengangguk. “Ya udah, gue duluan deh. Soalnya ada sesuatu yang harus gue kerjain. See you next Thursday.” Dia pun menghilang dari pandangan mata sipit gue.

***

            Dan, ini kamis lagi! Seminggu sudah terlewat sejak pertemuan pertama kalinya gue dengan si Ibnu. Sayangnya gue harus terkontaminasi karena duduk diapit oleh dua orang berisik yang nyaman-nyamannya ngrumpi heboh di depan telinga kanan dan kiri gue. Bisa nggak kalian tutup mulut dulu, sementara gue harus menyiapkan mental supaya proposal gue diterima?
            Selang beberapa menit kemudian, Ibnu keluar dari ruang dosen setelah menjalani bimbingan skripsi dengan dosbing yang sama dengan gue. Dia berdiri diantara kami bertiga sambil mengulas senyum ketika melihat… melihat siapa ya tepatnya? Melihat gue? Pipit? Atau bahkan Heru?
            “Abis bimbingan lo?” Tanya Heru yang rupanya sudah akrab dengan Ibnu.
           “Nggak!! Baru dagang buah gue!” Celetuk Ibnu melawak sebentar. “Ya iyalah baru bimbingan, emang elo nggak liat gue bawa apaan?” lanjut Ibnu seraya menunjukan tumpukan proposalnya yang sekilas gue lihat masih penuh dengan beberapa revisi.
            Gue lalu berdiri sambil berusaha bersikap sewajar mungkin ketika menatap wajah Ibnu. “Hmmm… gue deg-deg-an nih!” kata gue.
            “Tenang, dosennya lagi baik kok. Lo nggak bakal ditanya macem-macem.” Kata Ibnu, menghibur gue.
            ‘Gue lebih deg-degan kalau liat wajah lo!’ gue berkata dalam hati.
            Gue tersentak ketika Ibnu tiba-tiba mengibas-ngibaskan tangannya sambil berkata, “Helooow!! Kok elo malah bengong ,sih?
            “Eh sorry… gue, gue terpesona, oops!” gue buru-buru menutup mulut karena keceplosan.
            Ibnu memandang gue dengan wajah yang bingung. “Mangsud lo?”
            Gue terkesiap. Gue udah cukup berani terang-terangan mengatakan kalau gue tersepona, eh maksudnya terpesona. Harus jawab apa gue? Apa iya gue harus jujur di depan Ibnu? Kalau berani sih, it’s okay no what-what. Tapi masalahnya, gue belum berani mengungkapkan gejolak hati gue yang meletup-letup dan menggelegar bagaikan bom atom yang sebentar lagi meledak. #lebay
            Gue melirik Pipit yang sedang sibuk dengan dua ponselnya. Sepertinya dia sedang kewalahan membalas SMS dari para penggemarnya satu persatu. Dengan sadis, gue memegang wajah Pipit dan diputarnya hingga menengok Ibnu.
            “Dia yang terpesona sama elo!” kataku tanpa memandang wajah Pipit yang sedang berekspresi seperti orang yang sedang minta tolong.
            “Jadi, sekarang elo udah doyan sama yang berbulu niiih!” Heru menimpali sambil memunculkan keringat besar di belakang kepalanya.
            Pipit menyingkirkan tangan gue dengan kesal. “Lo apa-apaan sih, Nis? Lo kira gue angry bird yang kepalanya boleh diapain aja?”
            “Sorry…” gue nyengir.
            Ibnu hanya ketawa-ketawa sambil mengepang bulu janggutnya kecil-kecil.
Selang beberapa menit kemudian, dosen pembimbing gue muncul dan membuka sedikit pintu ruangan dosen sambil bilang, “Next!”
            Somehow gue lebih merasa seperti pasien demam berdarah yang dipanggil giliran masuk ke ruangan dokter daripada bimbingan skripsi.
            Gue beranjak dari posisi duduk. Sambil membenarkan letak kacamata, gue melirik lagi ke arah Pipit dan Heru. “Doain supaya konsep proposal gue diterima ya?”
            “Elo pasti bisa!” seru Pipit menyemangati.
            “Iyah, gue pasti bisa!” semangatku berkobar-kobar.
            “Nggak usah ke-PD-an dulu deh.” Timpal Heru dengan nyinyir.
            Gubrak!! Semangat gue tiba-tiba tenggelam hingga ke dasar palung Marina.
            “Udah, nggak usah dengerin si Heru. Elo harus tetep percaya diri, okay?” Celetuk Ibnu. Gue melirik cowok itu dengan mata yang bekedip-kedip. Hati gue berbunga-bunga. Pipi gue memerah. Dalam dunia khayalan, gue berlari-lari kegirangan di sebuah bukit hijau nan luas-nya Telletubies.

***

            Setelah hampir tiga puluh menit bercengkerama membahas proposal skripsi dengan dosen pembimbing, gue keluar dari ruangan dosen dengan wajah yang berlipat-lipat.
            “Lo kenapa, Nis? Muka lo kok surem banget.” Cetus Pipit, memberi komentar.
            “Ya gitu deh.”
            “Proposal lo ditolak?” tanya Pipit lagi.
            Gue mengangguk dengan pasrah. “Masih banyak revisian.”
            “Udah gue duga.” Celetuk Heru dengan santai.
            Gue melirik Heru dengan kesal. Rasanya pengen banget nendang tuh orang sampai ke lubang hitam ruang angkasa, biar nggak balik sekalian.
            “Lo harus tetep semangat ya…” kata Ibnu yang ternyata masih berada di tempat itu. Dia duduk di sebelah Heru.
            Gue mengangguk sambil tersenyum kecil. “Thanks ya…”
            Ibnu menimpali dengan anggukan juga. Dia melihat jam tangannya, kemudian berdiri dari kursi. “Kayaknya gue musti cabut duluan deh.” Katanya seperti berpamitan.
            “Mau kemana sih emang?” tanya Heru.
            “Urusan lah.” Singkat Ibnu, lalu dia berjalan sesaat setelah mengatakan. “Sampai ketemu lagi ya…” katanya sambil melambaikan tangannya.
            “Ibnu!!” seru gue tiba-tiba.
            Ibnu sontak berhenti, berbalik dan menatap gue.
            Jantung gue berdegup sangat kencang melihat tampang polosnya yang menanti-nanti kalimat gue.
            Setelah mengeluarkan segenap keberanian, akhirnya gue sanggup untuk mengatakan, “Kalau dosen nggak mau terima proposal gue, tapi elo mau kan terima proposal cinta gue?” kata gue yang entah mengapa bisa mengatakan hal senajis itu.
            “Ya ampyuuun, co cwiitttt.” Seru Pipit dengan bibir yang melayang-layang.
            “Saatnya gue bilang… Wauwww!” Heru menimpali.
            Gue menunggu respon dari Ibnu. Cowok itu tidak menghampiri gue, dia masih saja diam dalam jarak tiga meter dari posisi yang sedang gue pijak. Gue lihat dia tersenyum. Hati gue berdebar-debar, penuh harap, setidaknya sebelum Ibnu mengatakan…
            “Sorry, gue udah terlanjur terima proposal cewek lain yang nggak terlalu banyak ‘revisian’.” Bahkan Ibnu memberikan gestur tanda petik saat menyebut kata ‘revisian’.
            Proposal di genggaman tangan gue meluncur jatuh dengan sukses. Sumpah! Persis banget kayak adegan di sinetron-sinetron. Cuma bedanya gue nggak sampai teriak, “APAAA?”
Gue terbengong bego, bahkan ketika sosok Ibnu sudah lenyap dari pandangan gue. Rasanya tuh ya kayak dilempar ke planet antah berantah, ketemu sama Wiro Sableng, lalu terdepak ke rumah sakit hingga tertukar dengan orang lain dan sialnya hasil DNA gue lagi-lagi tertukar.
            “Whaaaaaaa!” gue teriak tanpa sadar.
            Pipit memasukan gumpalan tissue ke dalam mulut gue yang terngaga lebar. Dengan iba dia mengelus-elus kepala gue tanpa sadar jika tissue bekasnya sudah gue telen dengan sukses. “Elo yang sabar ya, Nis!”
            Heru ikut berdiri. Jangan bilang dia mau ikut-ikutan ngelus kepala gue! Huft syukurlah, ternyata dia hanya memandangi gue dengan sorot mata tajamnya yang jelas sekali dibuat-buat.
            “Kali ini gue bener-bener kasian sama elo, Nis. Elo harus tegar ya.” Kata Heru yang kali ini menatap gue dengan tatapan mata yang berbintang-bintang.
            “…” Gue mengangguk berat.
            Lalu Heru memungut proposal gue. Dia membaca sejenak proposal gue, lalu senyum-senyum tanpa arti. “Gue mau kok terima proposal elo, asal…”

            “…”

            “…elo mau berbagi giliran dengan cewek-cewek lain yang juga pengen bimbingan di hati gue.” Ujar Heru dengan tengil.
            Gue menggembungkan pipi sambil meraih paksa proposal dari tangan Heru. Lalu, gue pergi diikuti Pipit yang lebih dulu melirik Heru sambil mengatakan, “Terus, gue musti manjat Monas, nari-nari di udara sampai putus asa, lalu terjun bebas sambil teriak WOOW, gitu? Heloooow!”
            “…”

***

Komentar

Postingan Populer